Senin, 28 Oktober 2013

Apa?

Berada di lantai sepuluh di salah satu bangunan Ibukota, pagi ini seperti biasa, tak banyak yang berubah, selain waktu tentunya. Dari atas sini melihat di seberang ada sebuah jalan layang yang sudah hampir 3 tahun belum juga terpakai. Dibawahnya lalu lintas ramai cenderung padat, satu dua orang membunyikan klaksonnya seakan sang waktu hendak menerkamnya.
Para pekerja di gedung sebelah sudah sejak awal kedatanganku sudah mulai bergerak, memasang satu persatu besi, mengaduk pasir dan semen. Sementara yang lainnya bekerja, seorang petugas keamanan sedang berbincang dengan beberapa tukang ojek sambil meniupkan asap dalam mulutnya.
Kontras sekali jika kemudian aku menoleh ke sebelah kiri, berjejer-jejer pusara bagi tubuh yang jiwa nya entah berada dimana. Sepi, hanya keheningan yang menyapu mataku. Seperti halnya diriku kini.
Entah bagaimana awal mulanya, beberapa hari terakhir pikiranku seolah di penuhi oleh hasrat, mimpi yang absurd. Mimpi itu menimbulkan keinginan yang begitu kuat, tetapi bagian lain dari tubuhku, otak, tak mau bekerja berirama. Dia tak bisa mencerna dan memahami apa yang sebenarnya sedang kulakukan, telah kulakukan, dan akan kulakukan. Berhari-hari tubuhku seolah berjalan dan bergerak hanya sesuai naluri.
Dan disini, di lantai 10 sebuah gedung di Ibukota aku terduduk, terpaku, mengamati dan berpikir akan adanya diriku. Hendak kemanakah jiwaku berlabuh? Laki diriku yang mana yang telah berguna bagiku dan keluargaku? Sampai kapan aku harus bergerak dalam kekosongan?
Aku tahu, waktuku tak banyak. Dan aku harus segera tahu apa yang terjadi dalam diriku.

Jakarta 29 Oktober 2013

Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

Selasa, 22 Oktober 2013

Benarkah kita adalah orang merdeka?

Benarkah kita adalah orang merdeka?
Padahal segala tindakan kita banyak yang sangat di pengaruhi oleh tindakan orang lain..
Kita adalah orang ramah, tapi ketika kita bertemu dengan orang yang sangat jutek secara otomatis kecenderungan kita adalah ikut jutek
Kita adalah orang pemurah, tapi ketika kita bertemu dengan orang yang sangat pelit secara otomatis kecenderungan kita adalah ikut pelit kepada dia
Kita adalah orang yang baik, tapi ketika kita bertemu dengan orang yang di kenal sangat jahat secara otomatis kecenderungan kita adalah menjadi orang yang bersu'udzon kepadanya
Kita adalah orang sumeh, tapi ketika kita bertemu dengan orang yang memusuhi kita, secara otomatis kecenderungan kita adalah ikut cuek kepadanya
Dan banyak hal lagi yang mungkin sangat bertolak belakang dengan pribadi kita sebenarnya, kita sering terjebak dalam situasi-situasi yang membuat kita terpenjara, karena kita bukanlah orang yang benar-benar merdeka..

Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

Selasa, 15 Oktober 2013

Idul Adha

Idul Adha tahun ini sama seperti tahun-tahun yang sebelumnya, penceramah di masjid tempatku dan keluarga menunaikan sholat belum berceramah tentang sesuatu yang beda. Masih terlalu standart, cerita-cerita tentang puja-puji Nabiyullah Ibrahim dan putranya Ismail alaihissalam, dan makna kurban. Ceramah yg terlalu standart ini seperti sebuah kaset yg diputar berulang kali dan itu membosankan, yg membuat banyak jama'ah sholat alih-alih memperhatikan, malah tidur ! :(
Seharusnya momen inilah saat tepat bagi penceramah untuk (setidaknya sedikit) menggugah mindset, pola pikir, masyarakat tentang bukan hanya makna kurban bagi pribadi, tapi juga masyarakat, kehidupan beragama, kehidupan pluralitas, kehidupan yg terus berkembang.
Seperti yg sudah-sudah pula, ceramah "standart" ini berujung pada jeleknya pola pendistribusian daging kurban. Meskipun tak ada syarat khusus dalam hal distribusi daging kurban, tapi setidaknya jika sebuah ceramah mungkin bisa merubah cara pendistribusian yg lebih merata dan manusiawi.
Semisal di rumah ku, kami mendapatkan daging kurban hampir 5kg. Padahal di bagian lain jakarta banyak yg mengantri, bahkan hingga ada yg meninggal, hanya untuk dapat 0,5kg daging. Ironis bukan?
Dari ceramah-ceramah "standart" itu pula momen Idul Adha dan Haji seakan kehilangan "ruh", seolah-olah hanya sebagai kegiatan rutin tahunan yg wajib ada. Hanya sebatas itu, ga lebih dan mungkin malah berkurang.
Pada akhirnya, semoga para pendakwah kita tak bosan-bosan untuk berinovasi dan lebih kreatif untuk mengingatkan umat ke arah yg lebih baik dg tausiah-tausiahnya. Aamiin.. Dan tentu sebagai seorang pribadi, kita bisa lebih memahami hikmah dan esensi dari kejadian-kejadian yg sering kita alami.

Wallahu 'alam bisshowab

Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

Jumat, 11 Oktober 2013

Tidak kah?

Tidak kah kita terlalu merencanakan hidup? Terlalu berharap banyak hal yang membuat kita pada akhirnya bersedih tak menerima apa yang menjadi takdirNYA..
Tidak kah kita terlalu sering tak bisa membedakan kebutuhan dan keinginan kita?
Terlalu mengejar suatu hal yang hakikatnya tak terlalu kita butuhkan..
Tidak kah kita sering terlalu memikirkan banyak hal yg tak seharusnya kita pikirkan?
Terlalu takut melangkah dan tak tahu harus berbuat apa karena persepsi-persepsi yang belum tentu terjadi..
Tidak kah kita terlalu sering berbuat sia-sia?
Entahlah..
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

Selasa, 08 Oktober 2013

walau satu ayat

Ustadz/pendakwah/murobbi beda sama motivator ataupun guru..menjadi seorang ustadz di tuntut lebih mengerti secara mendalam kaidah-kaidah yg di ajarkan..mengutip hadits misal, harus tau betul sanad-nya, harus tau betul kondisi hadits, harus tau betul pertentangan-pertentangan hadits tersebut..
Sampaikan walau satu ayat, kenapa Nabi menyebutkan "satu ayat"? Karena satu ayat pun itu ga gampang membedahnya, apalagi pake Qur'an terjemahan tok, ada cerita2, asbabun nuzul, hadits-hadist penjelas, bagaimana sebuah hadist itu sampe ke kita, bagaimana kualitas perawinya, dll..
Ustadz, bukan hanya sekedar membacakan sebuah ayat tp juga harus menjabarkan, mempraktekkan, ga sekedar mengambil kesimpulan dhohir/tekstual saja..
Atau semacam tadabbur, ga semudah itu, boleh-lah setiap orang melakukan tadabburnya sendiri,memahami sesuai kemampuan dan tingkat keilmuan dia, tp itu hanya untuk pribadi..untuk di sampaikan kepada org lain? Kapasitasnya sebatas apa?
Sekaliber Imam Nawawi yg kitab nya jadi rujukan di pesantren2 Indonesia aja ada yg salah,
ga semudah itu menyampaikan "walau satu ayat" apalagi jadi ustadz..beraatt, sangat berat, apalagi tanpa ada perilaku nyata dalam keseharian kita..na'udzubillah..
Disinilah kaitannya dengan tuntutan Nabi yang lebih "mudah" yaitu menuntut ilmu !!! Sehingga kita bisa menyampaikan "walau satu ayat"..

Wallahu'alam..
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

Senin, 07 Oktober 2013

Sebuah cerita

Surat kahfi bercerita tentang Nabi Musa dan Nabi Khidir..sebagaimana kita telah faham dan ketahui bersama, apa yg di lakukan Nabi Khidir adalah sebuah "kesalahan" dalam kacamata Nabi Musa (dan mungkin kita, seandainya kita ada di kejadian dan waktu tersebut), sedangkan apa yg di tanyakan Nabi Musa adalah "kebenaran" dalam kacamata beliau (dan kacamata umum).. tapi kenyataan-nya adalah sebaliknya, perbuatan Nabi Khidir adalah "kebenaran" dan sangkalan Nabi Musa adalah "kesalahan"..
Jadi masih yakin kita 100% benar?
Masih yakin kebenaran adalah suatu hal yang mutlak?
Masih mau terus nyinyir pada yang beda pendapat?
Masih mau terus bertengkar dan bertentangan?
Masih yakin ga mau ambil "jalur" tengah dalam setiap persoalan?
Wallahu ya'lamuu wa nahnu laa na'lamuu..
Allah Maha Tahu dan kita tidak tahu apa-apa kecuali ilmu yang secuil dari-NYA..

Selamat Pagiii...
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone