Senin, 03 Juni 2013

Pancasila, Islam dan Nasionalisme

Akhir2 ini banyak golongan yang salah/keliru memersepsikan Pancasila, Pancasila masih dianggap sebagai  kebenaran mutlak dan ideologi, Pancasila dipandang sebagai kebenaran common-sense ground, nilai falsafah kehidupan, nilai bangsa yang di formulasikan dalam lima sila. 

Padahal Pancasila bukan kebenaran mutlak karena pada titik ini hanya ada kebenaran agama dan keyakinan terhadap Tuhan. Membenturkan Pancasila dan Islam sebagai nilai kebenaran yang sama bagi saya agak keliru karena keduanya pada porsi yang berbeda Pancasila juga bukan kebenaran ideologi sehingga tidak layak jika di sanding-kan dengan ideologi lain seperti sosialisme, liberalisme, dll. 

Banyak kelompok yang memahami Pancasila sebagai ideologi, maka yang terjadi adalah membenturkan keduanya secara tidak profesional. Seperti kekeliruan beberapa orang dan organisasi yang menganggap pancasila itu sebagai ideologi, maka kesalahan bukan pada Pancasila-nya, tetapi pada mereka yang membawa kebenaran mutlak agama sebagai kebenaran ideologi, maka menganggap yang lain selain agama sebagai ancaman.

Pancasila menurut Gus Dur adalah nilai yang sudah ada dan diamalkan sejak berabad-abad lalu oleh bangsa Indonesia dalam bentuk yang tidak tertulis NU sendiri sudah on the right track, khittah 26 kiai Ahmad Sidqi dan kiai2 lain sudah final merumuskan hubungan pancasila dan Islam, "NU berasaskan Pancasila dan Aqidahnya Islam yang berdasarkan aswaja”  inilah kearifan dalam porsi yang sangat baik dan proporsional. Para kiai paham betul keduanya tidak bisa disamakan sebagai sebuah kebenaran mutlak, Islam adalah aqidah umat Islam. Sedangkan sebuah asas, NU menganggap Pancasila sebagai nilai yang hidup dan sudah sekian lama ada di dalam bangsa Indonesia secara de facto.

Selanjutnya tentang nasionalisme dan Islam, bagaimana hubungannya? banyak sekali catatan menarik dari saya dan teman2 apakah Islam di Indonesia bisa bersenyawa dengan nasionalisme? Sejarah perdebatan-jawaban pertanyaan ini sama tuanya dengan sejarah NKRI, banyak sekali yang menolak ide nasionalisme. Secara ringkas, dapat disimpulkan alasannya dalam tiga argumen :
  1. Pertama, argumen paling mendasar adalah, dalam koridor Islam, persatuan diwujudkan atas dasar kesamaan iman atau akidah. Biasanya yang dijadikan dalil adalah QS 49:10, “Innamal-mu’minun ikhwah” (kaum beriman itu bersaudara).  Islam diyakini universal, melintasi batas kebangsaan wilayah geografis. Karena itu, Islam diyakini bertentangan dgn nasionalisme.
  2. Kedua, kelompok anti-nasionalisme berpandangan bahwa ide nasionalisme-lah yang menyebabkan runtuhnya Khilafah Islam (Utsmaniyah). Akibat nasionalisme, Khilafah Islam terpecah-pecah menjadi negara-negara kecil yang satu sama lain saling bersengketa. Nasionalisme juga membuat umat Islam di negara yang satu tidak peduli dengan nasib umat Islam di negara lain. Misalnya, persoalan Palestina dianggap bukan persoalan umat Islam di Indonesia. Umat Islam, menurut mereka,  karena inilah jadi egois dan lebih mementingkan negaranya sendiri sebab paham nasionalisme.
  3. Ketiga alasan yang klise tapi terus diulang-ulang membosankan adalah: nasionalisme adalah ideologi bikinan dan impor-an dari Barat. Argumen ini kurang lebih sama dengan saat mereka yang anti-nasionalisme itu menolak demokrasi . Alasan penguat nya kemudian adalah ideologi nasionalisme-demokrasi impor-an ini menjadi alat Barat untuk memecah-belah umat Islam .
karena itu santri yang punya jiwa nasionalisme tinggi ini menyanggah habis-habisan alasan-alasan tadi :

  1. Pertama, dalil yang dipakai untuk men-justifikasi anti-nasionalisme di atas tidak tepat, ngawur.  Ayat “kamu mukminin itu bersaudara” bersifat deklaratif dan sama sekali tidak mengandung larangan terhadap nasionalisme. Justru sebaliknya, beberapa ayat sebelum ayat itu, masih dalam surat yang sama, Al-Quran mengonfirmasi fakta bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku "syu’uban wa qaba’ila".  Dalil nash yang dipakai untuk membenarkan anti-nasionalisme ditafsirkan dengan agak memaksakan pendapat, sebab memang tiada larangan eksplisit dan tegas dalam nash. Kalau pun ada, itu adalah larangan fanatisme sempit (‘ashabiyyah). 
  2. Kedua sesungguhnya nasionalisme itu adalah sebagai komunitas terbayang (imagined community), sebagaimana yang terjadi di Indonesia sudah melampaui, karena meleburkan berbagai suku bangsa agama dan bahasa dalam NKRI. Sebaliknya, sejarah kekhilafahan dulu banyak yang masih berparadigma kesukuan-dinasti (Umayyah, Abbasiyah, Fathimiyah, Buwaih, dst)  dan tidak egaliter sebab masih kental dengan perbedaan strata sosial antara umat Islam dengan kafir-dzimmi serta hak orang merdeka dan budak. Lagi pula, ide menyatukan seluruh umat Islam yang menyebar di berbagai negara itu susah—untuk tak dikatakan utopis.  Untuk merukunkan Indonesia dengan Malaysia saja susah, untuk merukunkan antara Sunni-Syiah bukan perkara mudah apalagi mau menyatukan umat Islam di belahan dunia yang jauh? Dengan tantangan yang begitu banyaknya, justru jika melihat sejarah, khilafah Islam masa Abbasiyah dulu sudah terpecah-pecah sebelum umat Islam mengenal ide nasionalisme. Abbasiyah tercerai-berai menjadi dinasti-dinasti kecil karena fanatisme kesukuan. Sekali lagi, dalam konteks ini Indonesia lebih baik. Slogan Bhinneka Tunggal Ika itu adalah upaya menyatukan berbagai suku bangsa dalam bingkai kesamaan sejarah, bahasa, dan budaya? 
  3. Ketiga, suatu ide tak bisa disalahkan hanya karena ide itu berasal dari si ini atau si itu. Seperti kata-kata Sayyidina 'Ali yang cukup terkenal "Undzur ma qola, wa laa tandzur man qola" - lihatlah apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang mengatakan. Yang penting tetaplah substansinya, dan dalam tataran ini Islam tidaklah bertentangan dengan nasionalisme dan demokrasi. Sejarah kekhilafahan klasik terbukti juga menyerap pola pemerintahan dari sistem peradaban tetangganya, sistem kementrian (wizarah) misalnya, menyerap dari Persia.
Sejarah itu berlaku progresif, misalnya, kita tidak bisa mengadopsi kembali konsep budak hanya karena konsep perbudakan itu ada dan diakui Islam. Tentunya, kita tidak ingin menolak penghapusan perbudakan hanya karena upaya menghapus perbudakan itu datang dari deklarasi internasional HAM, dari Barat. Fakta sejarah perlu menjadi rujukan syariat. Sebab menolak fakta sejarah, sebagaimana argumen yang kerap dipakai kelompok anti-nasionalisme berarti berangkat dari ruang hampa untuk menerapkan bunyi teks kitab suci ke dalam realitas. 

Kalaupun kita tak boleh melihat fakta kebrobokan yang terjadi dalam sebagian sejarah kekhilafahan klasik kita masih bisa melihat ke pengalaman umat Islam di Madinah saat masih dipimpin Nabi Muhammad. Di Madinah, masyarakat yg sangat plural: Muslim Muhajirin, Muslim Anshar (Aus & Khazraj), 3 Suku Yahudi (Nadhir, Quraizhah, & Qainuqa’) dan sebagian kecil Nasrani serta penyembah berhala. Bahkan, di masa awal, umat Islam adalah minoritas dibanding Ahli Kitab yang mayoritas. Pluralitas etnis dan agama di sikapi Nabi dengan membuat traktat politik bernama Piagam Madinah (mitsaq al-madinah). Teks Piagam Madinah bisa kita dapatkan dari kitab sirah Nabi tertua yang pernah ditemukan, yakni as-Sirah an-Nabawiyyah  karya Ibnu Hisyam, pada Bab ar-Rasul Yuwadi’u al-Yahud (Rasulullah Mengikat Perjanjian dengan Yahudi). Poin pertama piagam itu menyebutkan begini  “Surat perjanjian ini dari Muhammad; antara orang beriman dan Muslimin dari Quraisy dan Yatsrib, serta yang mengikuti mereka, menyusul mereka, dan berjuang bersama mereka; bahwa mereka adalah satu umat".

Poin yang bisa kita ambil: Nabi Muhammad menyatukan setiap elemen masyarakat dalam ummah yang bahu-membahu mempertahankan Madinah. Madinah adalah gambaran tentang negara, lebih tepatnya chiefdom, yang secara substantif sama dengan nasionalisme, yang dibatasi oleh wilayah geografis Piagam Madinah itu sendiri. Dalam tatarannya sebagai kontrak sosial, Piagam Madinah kurang lebih sama dengan Pancasila.  Dengan demikian, jelas bahwa Islam tidak bertentangan dengan nasionalisme dan Pancasila.

Wallahu 'alam bis showab.

*dari Tsabit Al-Banani - Santri NU (@abittsabit)